Korupsi Gagasan - Tabloid INFOKU 48



Saatnya Bongkar Korupsi di Tahun Politik
Bagi Indonesia, sebenarnya tiada tahun tanpa tahun politik. Sepanjang sejarah negeri ini tidak pernah lepas dari persoalan politik.
Ini merupakan kosekuensi dari asas konkordansi (penundukan) sebagai negara yang lahir akibat perjuangan politik yang boleh jadi tak pernah lekang dalam sejarah pertumbuhan negeri ini.
Ada prediski bahwa tahun 2013 adalah tahun politik yang akan menimbulkan hiruk-pikuk dan kehebohan.
Ada dua indikatornya, pertama, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menetapkan partai politik (parpol) yang menjadi peserta pemilihan umum 2014. Sekitar 34 parpol yang diverifikasi KPU dan diperkirakan sekitar sepuluh parpol yang lolos menjadi peserta pemilu.
       Kedua, imbas tahun politik akan berdampak pada proses penegakan hukum. Para elit parpol dan kekuasaan akan saling membongkar dan menuding telah melakukan korupsi.
Ini menunjukkan bahwa hukum dan politik laksana dua sisi keping mata uang. Keduanya saling memengaruhi, karena politik hanya bisa efektif jika dilandasi oleh ketentuan hukum yang memadai.
Sebaliknya, hukum akan bergantung pada keputusan politik lantaran hukum dibuat oleh lembaga politik seperti parlemen dan pejabat publik yang berasal dari kalangan politisi.  
       Menjelang pemilu 2014, para aktor politik akan berlomba menggunakan jalur kekuatan sipil demi meraih kepentingan pribadinya.
Tujuannya untuk meningkatkan posisi tawar diri dan partainya agar dilirik oleh pemilih. Dalam kondisi seperti itu, biasanya yang memiliki kekuasaanlah yang paling diuntungkan.
Untuk mencari logistik pemilu, mereka punya kekuasaan untuk mengakali anggaran negara (APBN dan APBD) dengan beragam cara.
       Sepuluh parpol yang lolos pemilu 2014, tetapi jumlah parpol sebanyak itu masih tambun dan tidak akan mengefektifkan sistem pemerintahan presidensial.
Dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengakomodasi koalisi parpol lantaran tidak mayortitas di parlemen, bisa dijadikan pembenaran akibat kabinet yang dipimpinnya tidak bekerja efektif.
       Para menteri yang berasal di luar Partai Demokrat memiliki dua atasan. Selain presiden, juga pimpinan partai yang mengusulkannya masuk jajaran kabinet.
Akibatnya, semua kebijakan persiden akan senantiasa dikonsultasikan dengan partainya, yang tentu saja secara diam-diam, meskipun mereka tergabung dalam koalisi. Itu yang membuat Presiden SBY begitu lamban dalam mengambil keputusan strategis seperti saat mengganti menteri lantaran mempertimbangkan keseimbangan koalisinya.  
       Tetapi terlepas sepuluh parpol yang lolos yang sejatinya masih terlalu besar, tetapi realitas selama tiga kali pemilu di era-reformasi, keberadaan sebagian besar partai-partai tidak memperjuangkan kepentingan rakyat. Yang dominan adalah bagaimana mendahulukan kepentingan partai atau golongannya sendiri dengan mengabaikan kepentingan rakyat.
       Belum terlihat anggota parlemen (DPR) kita memosisikan dirinya sebagai “negarawan” saat akan menetapkan undang-undang atau Perda, menetapkan APBN dan APBD, atau saat melakukan pengawasan. Mereka masih terjebak pada posisinya sebagai politisi yang selalu memperhitungkan kepentingan partai dan golongannya. Itu yang membuat tingkat kepercayaan publik terhadap parpol terus tergerus, karena para calon legislatif dan elit politik mendekati masyarakat hanya saat membutuhkan suaranya menjelang pemilu.
       Berbagai survei menunjukan hal itu dan semakin memperjelas betapa rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap parpol.
Penyebabnya antara lain lantaran parpol tidak memihak rakyat. Hanya sibuk menebar pesona menjelang hajatan politik, seperti pemilihan gubernur, bupati, wali kota, pemilihan legislatif, dan pemilihan presiden. Setelah berlalu, pesta pun selesai dan semua janji-janji yang ditebar saat kampanye dilupakan. Jika pun ada yang dilaksanakan, tetapi teknisnya tidak seperti yang dijanjikan. Wajar jika ada yang menyebut janji-janji politik calon pemimpin dan caleg tak ubahnya seperti penipuan.   
       Karena itu, pembatasan parpol untuk ikut pemilu sesuatu yang niscaya. Saat ini hanya beberapa partai tertentu yang eksis karena “agak peduli” terhadap konstituennya. Pembatasan jumlah partai tidak melanggar Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Parpol Korup
       Saat pemilu 2014 atau saat memilih pemimpin, rakyat seharusnya menjatuhkan hukuman kepada parpol dan politisi korup dengan tidak memilihnya. Selain memberikan tekanan agar papol dan politisinya tidak korupsi, juga memberikan pendidikan politik dan pendidikan korupsi bagi parpol, para politisi, dan masyarakat.
Rakyat sangat muak dengan perilaku elit politik dan kekuasaan yang hampir setiap hari diungkap di ruang publik melakukan korupsi, tetapi hukum tidak bertenaga untuk membawanya ke pengadilan, khususnya kasus korupsi yang terjadi di daerah.
       Jangan gadaikan hak politik selama lima tahun kepada politisi busuk dan calon pemimpin busuk.
Tanda-tanda politisi busuk dan pemimpin busuk bukan hanya doyan korupsi dan narkoba, tetapi juga yang malas mengikuti sidang, malas turun mengunjungi rakyat untuk menyerap aspirtasi, serta sembunyi saat pengunjuk rasa ingin menemuinya untuk menyampaikan aspirasi.   
       Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang (sumber : Tribuntimur.com,3/1/2013), malah meminta tidak memilih politisi yang tidak punya kontribusi pemikiran.
Sebab boleh jadi ada anggota DPR yang secara fisik sering mengikuti sidang, tetapi tidak memberikan sumbangan pemikiran atau memperjuangkan aspirasi rakyat. Artinya, ukuran kualitas pemimpin selain tidak bermental korup, juga harus cerdas, dan berani menepati janjinya. (Penulis Drs Ec Agung Budi Rustanto Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari berbagai Sumber)
  Lebih lengkap baca model Tabloid
          Gambar klik kanan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru