Opini Pimpred tabloid INFOKU edisi 83



Mengintip Mutasi Pegawai dan Intervensi Politik


Penulis Drs Ec Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU – diolah dari 4 sumber berbeda)


Di masa order baru, mutasi jabatan menjadi hal yang jarang sekali terjadi. Kalaupun ada, kebanyakan berupa promosi dalam lingkup satu satuan kerja.
Maka tidak jarang seorang PNS yang sejak diangkat sampai pensiun tidak beranjak dari lembaga satuan kerjanya.

Berbeda dengan sekarang. Tanpa landasan dan dasar yang jelas, seorang PNS dapat berpindah-pindah tugas dari satuan kerja satu ke yang lain, tanpa mempertimbangkan kemampuan yang dimiliki individu PNS dengan bidang tugas yang harus diembannya.
Padahal dalam Undang-Undang No 43 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No 8 Tahun 1974 telah dijelaskan bahwa untuk lebih menjamin objektivitas, dalam mempertimbangkan pengangkatan dalam jabatan dan kenaikan pangkat harus diadakan penilaian prestasi kerja.
Namun, kenyataannya penilaian prestasi kerja sering kali terjerat subjektivisme sehingga berbagai macam keberhasilan dalam menjalankan tugas, pendidikan, dan latihan kepemimpinan yang diikuti seorang PNS tidak akan bermanfaat banyak untuk meniti karier jabatan struktural maupun fungsional, meski otaknya cerdas sekalipun. ]
Sejak diberlakukannya Otonomi Daerah, banyak survey dan riset yang mengungkap buruknya situasi birokrasi pemerintahan di Indonesia, baik di tingkat pusat apalagi di daerah. Hal tersebut ditandai dengan rendahnya SDM para pejabat yang berakibat semakin melemahnya pelayanan publik.
Padahal, salah satu amanat reformasi yang perlu terus-menerus dilakukan adalah reformasi birokrasi. Siapa pun yang memimpin negeri ini, reformasi birokrasi harus menjadi prioritas program kerjanya.
Dalam kenyataannya justru reformasi birokrasi terabaikan. Ambil saja contoh, pola pemilihan atau pengangkatan pejabat stuktural pemerintah tidak lagi merujuk kepada aspek profesional, melainkan lebih kepada suka atau tidak suka, bahkan sudah bercampur dengan intervensi politik.
Padahal jika pemimpin ingin pemerintahannya berjalan dengan baik, orang yang dipercaya untuk memegang birokrasi haruslah orang-orang profesional, cerdas, memiliki mindset yang tepat dan tidak berorientasi pada kekuasaan.
Diakui secara jujur bahwa mismatch yang terjadi saat ini terlalu besar, terutama di tingkatan pemerintah daerah akibat adanya like and dislike. Ada sarjana hukum menjadi kepala PU, sarjana IAIN menjadi Camat, dan sebagainya.
Seekor serigala akan nampak hebat dan perkasa manakala ia berada di kawasan hutan belantara.
Namun jika ia harus hidup di gurun pasir, meski disana banyak hewan buruan yang bisa di mangsa, pasti ia tidak akan sehebat dan seperkasa jika berada di hutan.
Pada kenyataannya memang demikian, banyak pejabat setingkat eselon II yang tidak mampu menjabarkan visi dan misi kepala daerahnya di tingkatan praksis.
Akibatnya banyak persoalan yang muncul sebagai dampak dari ketidakmampuan lembaga-lembaga pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada publik yang lebih baik.
Upaya menciptakan good governance yang selalu dikumandangkan sejak era reformasi baru sebatas retorika yang berkepanjangan.
PNS dalam Politik
Jika kita cermati, larangan bagi PNS ikut berpolitik sebagaimana diatur dalam UU 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian, masih bersifat setengah hati. Apa dan bagaimana terminologi ‘PNS berpolitik’ masih belum jelas.
Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa bukti keikutsertaan hanya ditunjukkan melalui kartu tanda anggota (KTA) parpol.
Artinya, jika PNS tidak mempunyai KTA parpol, maka dia tidak akan terkena sanksi pemecatan walaupun pada kenyatannya PNS tersebut ikut serta dalam kegiatan politik baik dalam pemilu, pilkada maupun pilpres.
Setiap kali akan diselenggarakan pemilu, selalu muncul imbauan dari Pemerintah (baca : Depdagri) yang meminta agar setiap gubernur dan bupati/walikota memantau anak buahnya untuk tetap netral.
Harapan tersebut tidak lebih seperti ‘jeruk makan jeruk’ karena pada saat Pilkada, para Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai incumbent sangat berkepentingan terhadap PNS dalam meraup perolehan suara.
Dalam kedudukannya sebagai aparatur pemerintah, para PNS dapat diajak ikut kunjungan kerja, sosialisasi, atau kegiatan lainnya yang bertujuan ‘memasarkan diri’ calon Kepala Daerah yang notabene atasannya yang akan ikut bertanding dalam Pilkada.
Banyak para pengamat politik dan lembaga survei yang menyatakan bahwa kunci kemenangan bagi para calon incumbent sangat ditentukan oleh peran PNS yang dibawahinya, terutama dalam membangun citra positif ditengah masyarakat.
Maka menjadi wajar jika para Kepala Daerah sebagai calon incumbent sering melakukan mutasi dalam rangka ’penataan’ bagi pejabat stuktural dibawahnya, karena tidak ada seorang pun calon yang ingin kalah bertanding, terlebih calon incumbent.
Hanya saja, karena adanya intervensi politik maka penunjukan pada jabatan tidak lagi berdasarkan kriteria profesi, seperti pendidikan, keahlian dan kompetensi administrasi. Mestinya penataan yang dilakukan harus mampu menciptakan hirarki yang kuat dalam hubungan atasan dan bawahan dengan satu mata rantai perintah atau komando.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertekad untuk melancarkan reformasi birokrasi pada seluruh kementerian dan lembaga.
Bahkan SBY sempat berjanji bahwa agenda reformasi ini akan diselesaikan pada 2011. Penegasan Presiden SBY tersebut memang tidak lepas dari buruknya situasi birokrasi pemerintahan di Indonesia.
Memang, pada titik inilah seharusnya reformasi birokrasi digerakkan jika hasil yang diharapkan adalah suatu pemerintahan yang baik.
Hal yang paling penting adalah agar pola pemilihan atau pengangkatan pejabat pemerintah harus di ubah.
Kepemimpinan birokrasi harus merujuk kepada aspek profesional, lepas dari belenggu patrimonial kekuasaan yang merugikan PNS. Dengan kata lain, promosi jabatan harus dikembalikan ke track-nya yang benar.
Pengangkatan pejabat harus terbebas dari sekadar suka atau tidak suka, namun yang memang pintar di bidangnya.
Apabila selama ini sudah terasa ada kontaminasi, maka harus dikembalikan. Perlu adanya kerangka hukum dan aturan serta prosedur tata kelola yang dapat menjadi pegangan dalam proses reformasi birokrasi.
Pembenahan birokrasi juga menyangkut restrukturisasi agar lebih efisien, termasuk cara kerja, disiplin, perilaku yang lebih terbuka dan bertanggung jawab. Penataan kembali berarti mengubah watak.
Paling tidak pelaksanaan reformasi birokrasi mencakup tiga aspek besar, yakni organisasi, ketatalaksanaan dan sumberdaya manusia aparatur.
Untuk mendapatkan SDM aparatur yang handal dan profesional, misalnya, perlu dirumuskan strategi pengolahan yang tepat dan terarah, penyusunan penilaian kinerja, pengembangan sistem rekrutmen, pengembangan pola diklat, penguatan pola rotasi, mutasi, promosi, pola karir dan pola peningkatan kesejahteraan. 
Fungsi-fungsi manajemen SDM tersebut harus terintegrasi satu dengan yang lain dan dilaksanakan dengan semangat reformasi birokrasi, yakni peningkatan kinerja aparatur pemerintah dan peningkatan kualitas pelayanan publik. “Dirgahayu Republik Indonesia ke 69-###

Lihat Model Tabloid....
Gambar  Klik KANAN pilih Open New Tab atau Buka Tautan Baru