Opini Mahasiswa UNDIP - tabloid INFOKU 93



Dilema Perempuan di Tengah Kapitalisme
Ditengah - tengah kapitalisme yang sedang marak sekarang banyak perempuan yang mengalami dilema?
Mengapa demikian ?! Karena perempuan semakin banyak yang meninggalkan keluarganya untuk bekerja, baik dalam keadaan terpaksa maupun sukarela.
Terpaksa karena penghasilannya tidak cukup untuk menghidupi kehidupan sehari - hari dan Sukarela karena para perempuan bekerja semata – mata hanya untuk membantu peran suami dalam mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya.


Serta mereka saling melengkapi kebutuhan keluarga agar tercipta kehidupan yang sejahtera.
Kapitalisme sendiri merupakan sistem ekonomi di mana perdagangan, industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh pemilik swasta dengan tujuan membuat keuntungan dalam ekonomi pasar. pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.
Demi prinsip tersebut, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama, tapi intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untuk kepentingan-kepentingan pribadi.
Dunia saat ini semakin ramai dengan berbagai macam penawaran pekerjaan yang diperuntukan bagi para kaum wanita.
Masalah umum yang dihadapi adalah kecenderungan perempuan terpinggirkan pada jenis-jenis pekerjaan yang berpenghasilan rendah, kondisi kerja buruk dan tidak memiliki keamanan kerja.
Hal yang perlu digaris bawahi bahwa kecenderungan perempuan terpinggirkan pada pekerjaan marginal dan tidak semata-mata disebabkan faktor pendidikan.
Dari kalangan pengusaha sendiri, terdapat preferensi untuk mempekerjakan perempuan pada sektor tertentu dan jenis pekerjaan tertentu karena upah perempuan lebih rendah dari pada laki-laki.
Ketika dunia saat ini sedang ramai memperbincangkan kesenjangan dalam masyarakat dan bahaya yang mengancam akibat pesatnya kemajuan teknologi,
Hebert Marcuse seorang filsuf Jerman yang juga Teoritikus Politik & Sosiologi, hadir dengan kritikan yang menyebutkan bahwa masyarakat industri modern adalah masyarakat yang tidak sehat. Dalam bukunya
“One-Dimensional Man”, Marcuse melihat masyarakat modern sebagai masyarakat berdimensi satu.
Maksudnya, segala segi kehidupan diarahkannya pada satu tujuan saja, yaitu keberlangsungan dan peningkatan sistem yang telah ada, yang tidak lain adalah sistem kapitalisme.
Karena satu tujuan, itu berarti menyingkirkan dan menindas dimensi-dimensi yang lain yang tidak setuju atau sesuai dengan sistem tersebut.
Hal tersebut bisa lancar dan efektif dilaksanakan karena dengan adanya teknologi modern dan kemampuannya menciptakan kemakmuran bagi warganya dan pengaturan masyarakat yang serba rasional dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang hidup pada tahap-tahap masyarakat sebelumnya menimbulkan protes dan konfik sosial.
Sehingga, masyarakat yang tinggal dalam masyarakat tersebut dibuat menjadi pasif dan reseptif.
Tapi menurut Marcuse, semua itu baru luarnya saja yang bisa mengelabui mata, namun belum menyangkut hakekat manusia seutuhnya.
Kemajuan di bidang material perlu ditinjau apakah hal itu juga membawa perbaikan di lain bidang seperti moral, kebudayaan dan kehidupan keagamaan, misalnya.
Untuk itu perlu diselidiki dan ditanyakan apakah motivasi perkembangan yang terjadi sekarang ini, bagaimana proses terjadi dan akibat-akibat negatif yang mungkin ditimbulkan apabila perkembangan seperti itu terus marak terjadi.
Dalam segi sosial-politik, Marcuse beranggapan bahwa masyarakat industri modern, berkat penguasaan dan pengaturannya atas teknologi, cenderung ke arah totaliterisme.
Daya kekuatan mesin yang melampaui tenaga manusia menjadi alat politik yang paling ampuh.
“Rasionalitas teknologis” menampakkan sifat politisnya dengan menjadi alat penindasan yang lebih ampuh.
Sehingga, masyarakat kehilangan fungsi kritisnya. Teknologi juga menjadi alat pengendali sosial dengan kemampuannya mencegah timbulnya perubahan sosial kualitatif.
Kasus yang sedang merebak dan sedang hangat dibicarakan dalam dunia global saat ini salah satunya adalah Tenaga Kerja Wanita, Sistem kapitalisme memelihara kondisi lingkungan yang materialistik dan konsumtif.
Agar sistem ini tetap bertahan, salah satunya dengan meluncurkan genjatan propaganda yang mendukung sistem melalui berbagai media.
Contoh hal kecil yang sering terjadi adalah  perempuan Indonesia yang notabene memiliki kulit berwarna kuning langsat diserbu dengan propaganda bahwa cantik itu berkulit putih.
Maka, berlomba-lombalah wanita Indonesia membeli produk-produk pemutih kulit.
Padahal, jika dianalisis lebih jauh sebenarnya kulit orang - orang di Asia, termasuk Indonesia yang terlewati garis khatulistiwa, lebih sehat dan cantik karena pancaran dari sinar matahari yang cukup.
Tidak seperti kulit orang - orang Eropa yang cenderung putih pucat karena kurangnya  pancaran sinar matahari.
Untuk dapat membeli produk pemutih kulit tersebut tentu memerlukan uang. Sehingga, para perempuan pun tidak sedikit yang bekerja untuk membeli berbagai barang dan jasa yang telah dipropagandakan oleh para kapitalis.
Inilah cara para kapitalis membuat orang terdoktrin propaganda dan akhirnya membentuk kondisi lingkungan yang materialistik di samping konsumtif. 
Dari salah satu contoh kecil yang saya angkat, saya mempunyai beberapa solusi kepada masyarakat sebagai konsumen dan kepada pemerintah sebagai berikut :
1. Masyarakat sebaiknya tidak konsumtif dalam pemenuhan kebutuhan tersiernya, akan tetapi  masyarakat harus lebih mengutamakan kebutuhan primernya,
2. Masyarakat lebih selektif dalam menerima produk – produk  yang di tawarkan  kaum kapitalis
3. Pemerintah harus mempersulit perizinan masuknya produk – produk ke dalam negeri,
4. Pemerintah menambah jumlah lapangan pekerjaan khususnya bagi para kaum wanita.


Penulis : Lidya Intan Fateka Mahasiswa ILMU PEMERINTAHAN FISIP UNDIP


Lebih lengkap baca model Tabloid
Gambar klik k
anan pilih open New Tab atau Buka tautan Baru