The Day of Wong Jawa



The Day of Wong Jawa, Orang Jawa Suriname di Persimpangan Jalan
9 Nop 2015
Hari ini, 9 Agustus, tepat 125 tahun orang Jawa untuk kali pertama menginjakkan kaki di Suriname, negara kecil di Amerika Selatan. Banyak tantangan yang harus dihadapi bangsa Jawa ke depan.
Laporan Arief Santosa , Suriname JAWA POS

SEJARAH mencatat, orang-orang Jawa mulai dikirim ke Suriname pada 1890. Kelompok imigran Jawa pertama berjumlah 94 orang. Mereka dibawa dengan menggunakan kapal laut dalam perjalanan berbulan-bulan dan tiba di koloni Belanda itu pada 9 Agustus 1890.
Kelompok itu direkrut De Nederlandsche Handel Maatschappij untuk dipekerjakan di perkebunan tebu dan pabrik gula Marienburg.
Empat tahun kemudian perusahaan yang sama kembali mengirim 582 orang Jawa. Pada 1897 pemerintah Hindia Belanda mengambil alih proses pengiriman imigran dari Indonesia itu. Hingga 1939, jumlah orang-orang Jawa yang dibawa ke
Suriname mencapai 32.956 orang dengan menggunakan 34 kali pengangkutan.
Orang-orang Jawa tersebut bekerja di perkebunan Belanda berdasar sistem kontrak.
Dalam perjanjian, mereka mempunyai hak untuk pulang ke tanah air (repatriasi) bila masa kontraknya sudah habis. Maka, sejak 1890 hingga 1939, ada 8.120 orang yang memilih kembali ke Indonesia.
Kemudian, pada 1947, gelombang kedua repatriasi membawa 1.700 orang, dan terakhir pada 1954 sebanyak 1.000 orang.
Dengan demikian, total tak lebih dari 11 ribu orang Jawa yang memilih pulang ke tanah air. Sedangkan sebagian besar lainnya memutuskan untuk menetap di Suriname dan kemudian beranak pinak hingga generasi keempat sekarang ini.
”Mereka itulah nenek moyang kita. Karena itu, setiap tanggal 9 Agustus kita peringati sebagai The Day of Wong Jawa untuk menghormati para leluhur yang telah banyak berkorban. Dinggo pengeling-eling nek awak dewe isih wong Jawa (untuk pengingat bahwa kita masih orang Jawa),’’ ujar tokoh keturunan Jawa paling populer di Suriname, Paul Salam Somohardjo, ketika ditemui Jawa Pos di kantor pusat Partai Pertjajah Luhur, Paramaribo, Selasa (4/8).
Paul Somohardjo adalah pendiri dan ketua umum partai orang Jawa terbesar di Suriname itu. Dia juga pernah membidani lahirnya Partai Pendawa Lima bersama Sahidi Rasaam, Rasiman, Muhammad Usman, dan Admin Adna. Namun, kepemimpinannya kemudian dikudeta anak-anak muda yang dimotori Raymond Sapoen pada 1997.
Paul juga pernah menjadi menteri kesosialan dan perumahan pada 2000–2005. Ketika Pertjajah Luhur menang dalam Pemilu 2005, dia diangkat menjadi ketua parlemen. Puncaknya, pada 2010 Paul menjadi orang keturunan Jawa pertama yang maju menjadi calon presiden. Namun, dia gagal menyatukan partai-partai Jawa untuk mendukung dirinya. Akibatnya, dalam pemilihan presiden di parlemen, dia pun kalah.
Menurut Paul, sudah saatnya orang Jawa meninggalkan paradigma lama sebagai bangsa terjajah. Sudah saatnya sekarang orang Jawa membangun Suriname. Sebab, hidup mati mereka ada di negara ini.
Mulane, awak dewe ojo isin dadi wong Jawa. Ojo mung jenenge wae sing Jawa, tapi ora duwe rasa dadi wong Jawa (Maka, kita jangan malu jadi orang Jawa. Jangan hanya namanya yang Jawa, namun tidak punya rasa sebagai orang Jawa),” papar pria 72 tahun yang lebih separo hidupnya dihabiskan di dunia politik itu.
Paul mengakui, orang Jawa masih sulit bisa memimpin negara karena Suriname adalah negara multietnis yang kalah-menang dalam pemungutan suara ditentukan banyak-sedikitnya warga. Sampai saat ini, jumlah penduduk keturunan Jawa masih nomor empat di bawah etnis Hindustan (India), Kreol (keturunan Afrika), serta keturunan Maroon (Negro alasan).
Memang, belum ada data statistik akurat yang memastikan jumlah orang Jawa di Suriname sekarang. Namun, kata Paul, jumlahnya masih sekitar 15 persen atau 80 ribu di antara total penduduk Suriname yang berjumlah 530 ribu jiwa. Jumlah itu tak banyak berubah dalam sepuluh tahun terakhir.
Mergane bocah-bocah saiki ora gelem duwe anak akeh. Paling-paling mung loro. Beda karo wong alasan (Maroon) sing duwe anak iso sampai 10, malah ono sing duwe 18 anak (Sebab, anak-anak sekarang tidak mau punya banyak anak. Paling-paling hanya dua. Berbeda dengan warga Maroon yang sampai punya 10, bahkan 18 anak),” ungkap bapak sebelas anak dari dua istri itu.
Selain soal jumlah warga yang kalah bila dibandingkan dengan bangsa lain, bangsa Jawa belum mau menyatu, manunggal. Bangsa Jawa terpecah-pecah dalam banyak kepentingan. Baik dalam politik, keagamaan, maupun kemasyarakatan.
”Dalam riwayatnya, sejak masih menjadi buruh perkebunan, orang Jawa memang tidak pernah bersatu. Padahal, kalau mau bersatu, bangsa ini akan sangat kuat,” ucap Salimin Ardjooetomo, tokoh keturunan Jawa di Suriname yang aktif bergerak melalui pelestarian bahasa dan kesenian Jawa.
Menurut catatan dia, pada Pemilu 2010 sebenarnya partai-partai Jawa yang selama ini terpecah-pecah sudah bisa bersatu. Mereka adalah Partai Pertjajah Luhur, Partai Pendawa Lima, Partai D-Selikur, NPLO (National Party voor Leaderschap en Outwikkeling), dan PPRS (Partij Pembangunan RakjatSuriname).
Hanya KTPI (Kerukunan Tulada Pranatan Inggil) yang masih enggan bergabung.
’’Lantaran partai Jawa belum bulat menyatu, majunya Paul Somohardjo sebagai calon presiden pertama dari bangsa Jawa pun gagal total. Suara orang Jawa di parlemen kalah dengan suara bangsa lain,’’ kata Salimin.
Pada Pemilu 2015 Mei lalu, lanjut Salimin, ketika Partai Pertjajah Luhur kembali hendak mengusung Raymond Sapoen sebagai calon presiden kedua dari keturunan Jawa, sebenarnya KTPI sudah berhasil didekati.
Namun, menjelang hari bitingan (pemungutan suara) dilakukan, partai yang dipimpin Willy Sumita itu mendadak keluar dari koalisi partai Jawa. KTPI memilih bergabung dengan partai milik bangsa Maroon, ADOB. Partai Jawa pun kembali tidak mampu bersaing dengan partai bangsa lain.
”Sepertinya partai Jawa sengaja dipecah-pecah biar tidak menyatu dan besar. Sebab, kalau bersatu, orang Jawa pasti kuat,” tegas Salimin.
Bila partai bersatu, yang dicita-citakan bangsa Jawa bisa dicapai. Yakni, terangkatnya martabat dan harga diri bangsa ini. Selama ini bangsa Jawa masih dipandang sebelah mata oleh bangsa lain. Bangsa Jawa masih sering dianggap ndeso, udik, kampungan, dan tradisional.
”Ini tantangan bangsa Jawa. Bagaimana bisa bergerak menjadi bangsa yang modern tapi tetap menjaga adat istiadat, tradisi yang diwariskan nenek moyang. Seperti yang dilakukan bangsa Jepang. Mereka menjadi bangsa yang modern tapi tetap memelihara budaya warisan nenek moyangnya,” papar pria 65 tahun itu.
Keprihatinan juga disampaikan anggota parlemen Raymond Sapoen. Menurut dia, bangsa Jawa masih sulit memimpin negeri ini selama masih terpencar-pencar dan cakar-cakaran sendiri. Selain itu, partai-partai Jawa perlu direformasi agar tidak terkesan eksklusif, tertutup (untuk bangsa lain), dan antidemokrasi.
”Partai Jawa harus terbuka untuk bangsa lain. Harus nasionalis. Yang ada selama ini sangat eksklusif hanya untuk orang Jawa. Sehingga bagaimana bisa meraih suara banyak kalau hanya menggantungkan dari kalangan orang Jawa yang sudah dipecah-pecah di banyak partai,” kata mantan menteri pendidikan dan pembangunan wilayah itu.
Pada Pemilu 2015, keturunan Jawa hanya diwakili sembilan orang di parlemen. Itu pun lima di antara mereka berada di partai pemerintah (Nationale Demokratische Partij/NDP). Sedangkan empat lainnya dari Partai Pertjajah Luhur. Padahal, untuk bisa memenangi pemilihan presiden di parlemen, minimal dibutuhkan 32 suara dari 52 anggota dewan.
Dengan kenyataan seperti itu, Sapoen tidak bisa memperkirakan kapan bangsa Jawa bisa memimpin Suriname. Masih butuh waktu lama dan formula baru dalam kehidupan politik bangsa Jawa.
”Yang mendasar, partai Jawa harus mau mengubah platform politiknya dari partai tertutup menjadi partai nasional demokratis yang bisa menarik bangsa lain,” tandas sarjana hukum yang mengaku memiliki nenek moyang dari Banyumas, Jawa Tengah, tersebut.
Sementara itu, Staf Bidang Politik Kedutaan Besar RI di Suriname Chairil Susena menilai, di tengah kompleksitas bangsa multietnis di Suriname, bangsa Jawa berada di persimpangan jalan. Di satu pihak, ada kalangan yang sudah berpikiran maju dan modern. Di pihak lain, banyak keturunan Jawa yang masih berpikiran tradisional.
”Hal ini berdampak hingga dalam kehidupan politik bangsa ini. Diperlukan kajian mendalam serta gerakan radikal agar bangsa Jawa bisa segera sejajar dengan bangsa lain di Suriname,” tuturnya.
Yang turut memperlambat proses kemajuan bangsa Jawa di Suriname adalah enggannya anak-anak muda yang berpendidikan tinggi untuk mengabdi di negara sendiri. Mereka memilih ke luar negeri untuk merintis karir yang konon lebih menjanjikan.
”Selulus SMA, biasanya anak-anak cerdas itu memilih kuliah ke Belanda, Amerika, atau Kanada. Mereka jarang yang mau kembali. Mereka baru pulang ke Suriname setelah pensiun atau bila sedang vakansi (liburan),” bebernya.
”Bagi mereka, Suriname itu bukan untuk meniti karir, tapi untuk menikmati hidup,” tambahnya.
Padahal, kata Chas –panggilan alumnus Hubungan Internasional UGM itu– di Suriname orang gampang mencari uang. Hanya, kalau tidak hati-hati, gampang pula menghabiskannya. Terutama untuk biaya kelakuan (foya-foya).
Misalnya, di Suriname kini ada sedikitnya 26 kasino yang tersebar di kota-kota besar. Belum termasuk yang kecil-kecil dan tidak jelas izinnya. ”Untuk ukuran negara dengan jumlah penduduk sekecil ini (530 ribu jiwa), jumlah kasino sebanyak itu jadi kelihatan luar biasa,” terangnya.
Belum lagi tempat-tempat mesum yang diiklankan secara bebas dan terbuka di koran-koran. Bagi para pemilik modal, itu kesempatan untuk mencuci uang sekaligus mengeruk untung. Sedangkan bagi yang ingin bersenang-senang, Suriname memberi tempatnya.
”Di sini semua itu dianggap wajar, normal-normal saja. Belum ada ketentuan yang tegas mengaturnya. Jadi, ya kita sendiri yang pandai-pandai mengeremnya,” tandas Chas. (*/c10)